Survai merupakan pendekatan kuantitatif, sedangkan pendekatan titik berat grounded research adalah pada pendekatan kualitatif. Data terutama dikumpulkan melakui wawancara bebas. Seperti yang dikemukakan oleh Glaser dan Strauss, grounded research merupakan reaksi yang tajam dan sekaligus menyajikan jalan keluar dari “stagnasi teori” dalam ilmu-ilmu sosial, dengan penitikberatan pada sosiologi. Kritik dilontarkan baik kepada pendekatan yang kuantitatif maupun yang kualitatif yang selama ini dilakukan.
Kedua pengarang tersebut mengkritik ketertarikan para peneliti yang berlebihan terhadap teori-teori yang sangat umum (grand theories) dari tokoh-tokoh besar seperti Weber, Parsons, Veblen, Cooley, dan lain-lain. Ini menjurus kepada studi verifikasi yang bermunculan seperti jamur di musim hujan, yakni verifikasi dari teori-teori tersebut melalui pendekatan kuantitatif dan tes statistik. Hasil akhir dari penelitian merupakan verifikasi dari teori atau hipotesa, untuk diterima atau ditolak.
Dengan demikian penelitian tidak bertitik tolak dari data atau situasi sosial tersebut, tetapi dari konsep, hipotesa dan teori yang sudah mapan, yang mungkin sekali tidak relevan untuk situasi sosial yang khas dari masyarakat yang diteliti. Karena sifatnya verifikasi atau pengecekan terhadap teori yang sudah tersedia, maka teori-teori baru tidak tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, terkadang timbul teori baru tetapi tidak pula berlandaskan data, jadi telepas dari data.
Grounded research menyajikan suatu pendekatan yang baru. Data merupakan sumber teori, teori berdasarkan data, dan karena itu dinamakan grounded. Kategori-kategori dan konsep-konsep dikembangkan oleh peneliti di lapangan. Data yang bertambah dimanfaatkan untuk verifikasi teori yang timbul di lapangan, yang terus menerus disempurnakan selama penelitian berlangsung.
Di dalam buku Alfian (ed.), yang berjudul Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh: Hasil Penelitian dengan Metode Grounded Research (1977), digambarkan dengan baik mengapa dipilih grounded research untuk para peserta Pusat Latihan Ilmu-ilmu Sosial di Banda Aceh. Pendekatan itu menggunakan observasi berpartisipasi – sebagai yang lazim dilakukan oleh sarjana antropologi – mengembangkan konsep-konsep di lapangan, dan peneliti terlibat secara penuh dalam penelitiannya dari awal sampai akhir. Jadi berbeda dengan penelitian survai yang mengandalkan pewawancara dalam pengumpulan data, kadang-kadang peneliti utama tidak pernah tinggal di daerah penelitian dan malah tidak mustahil bahwa dia tidak pernah ke lapangan untuk penelitian tersebut.
Kedua pengarang tersebut mengkritik ketertarikan para peneliti yang berlebihan terhadap teori-teori yang sangat umum (grand theories) dari tokoh-tokoh besar seperti Weber, Parsons, Veblen, Cooley, dan lain-lain. Ini menjurus kepada studi verifikasi yang bermunculan seperti jamur di musim hujan, yakni verifikasi dari teori-teori tersebut melalui pendekatan kuantitatif dan tes statistik. Hasil akhir dari penelitian merupakan verifikasi dari teori atau hipotesa, untuk diterima atau ditolak.
Dengan demikian penelitian tidak bertitik tolak dari data atau situasi sosial tersebut, tetapi dari konsep, hipotesa dan teori yang sudah mapan, yang mungkin sekali tidak relevan untuk situasi sosial yang khas dari masyarakat yang diteliti. Karena sifatnya verifikasi atau pengecekan terhadap teori yang sudah tersedia, maka teori-teori baru tidak tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, terkadang timbul teori baru tetapi tidak pula berlandaskan data, jadi telepas dari data.
Grounded research menyajikan suatu pendekatan yang baru. Data merupakan sumber teori, teori berdasarkan data, dan karena itu dinamakan grounded. Kategori-kategori dan konsep-konsep dikembangkan oleh peneliti di lapangan. Data yang bertambah dimanfaatkan untuk verifikasi teori yang timbul di lapangan, yang terus menerus disempurnakan selama penelitian berlangsung.
Di dalam buku Alfian (ed.), yang berjudul Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh: Hasil Penelitian dengan Metode Grounded Research (1977), digambarkan dengan baik mengapa dipilih grounded research untuk para peserta Pusat Latihan Ilmu-ilmu Sosial di Banda Aceh. Pendekatan itu menggunakan observasi berpartisipasi – sebagai yang lazim dilakukan oleh sarjana antropologi – mengembangkan konsep-konsep di lapangan, dan peneliti terlibat secara penuh dalam penelitiannya dari awal sampai akhir. Jadi berbeda dengan penelitian survai yang mengandalkan pewawancara dalam pengumpulan data, kadang-kadang peneliti utama tidak pernah tinggal di daerah penelitian dan malah tidak mustahil bahwa dia tidak pernah ke lapangan untuk penelitian tersebut.
(Dikutip dari artikel karya Masri Singarimbun yang berjudul “Metode dan Proses Penelitian” dalam buku yang berjudul “Metode Penelitian Survai” terbitan tahun 1989).
0 komentar:
Posting Komentar